PEMBAHASAN DARI
MASALAH
Indonesia telah memasuki sebuah
tahapan baru dalam dunia informasi dan komunikasi dalam hal ini adalah
internet. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang
telah memulai babakan baru dalam tata cara pengaturan beberapa sistem
komunikasi melalui media internet yakni seperti informasi,pertukaran
data,transaksi online dsb. Hal itu di lakukan oleh Indonesia melalui pemerintah
yang bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat sebuah draft atau
aturan dalam bidang komunikasi yang tertuang dalam RUU ITE atau Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Eletronik. Tepatnya pada tanggal 25 Maret telah
disahkan menjadi UU oleh DPR. Dalam kenyataannya UU tersebut tinggal menunggu
waktu untuk dapat diberlakukan. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan
hukum yang seringkali dihadapi diantaranya dalam penyampaian informasi,
komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal
pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan
melalui sistem elektronik. Hal tersebut adalah sebuah langkah maju yang
di tempuh oleh pemerintah dalam penyelenggaraan layanan informasi secara online
yang mencakup beberapa aspek kriteria dalam penyampaian informasi. Dalam
makalah ini di uraikan isi dan maksud dari UU ITE dan selengkapnya adalah
sebagai berikut:
MAKNA DIBALIK DEFINISI INFORMASI
ELEKTRONIK
Pasal 1 UU ITE
mencantumkan diantaranya definisi Informasi Elektronik. Berikut kutipannya :
”Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.”
Dari definisi Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna diantaranya :
1. Informasi Elektronik adalah
satu atau sekumpulan data elektronik.
2. Informasi Elektronik
memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
3. Informasi Elektronik
memiliki arti atau dapat dipahami.
Jadi, informasi
elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan arti. Mengapa
informasi elektronik tidak didefinisikan saja sebagai satu atau sekumpulan data
elektronik? Mengapa perlu pula dinyatakan wujudnya dan memiliki arti? Informasi
Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan bersifat tersembunyi.
Informasi Elektronik dapat dikenali dan dibuktikan keberadaannya dari wujud dan
arti dari Informasi Elektronik.
Sebagai contoh,
si A mengaku kepada si B bahwa dia memiliki informasi elektronik tersimpan di
harddisk. Bagaimana si B percaya bahwa si A memiliki informasi elektronik yang
dimaksud? si A harus mampu menunjukkan keberadaan informasi elektronik itu.
Caranya? Informasi Elektronik itu harus dapat diakses dan ditampilkan misalnya
ke monitor komputer. Informasi Elektronik yang tampil di monitor komputer tentu
memiliki wujud, misalkan berwujud tulisan. Dengan demikian, si B percaya dengan
keberadaan informasi elektronik yang dimaksud oleh si A dengan melihat wujud
dari informasi elektronik yang tampil di monitor komputer.Lalu, si B mencoba
untuk mengenali informasi elektronik dengan mencoba memahami arti dari
Informasi Elektronik yang dimaksudkan oleh si A? Untuk itu, si A harus
menjelaskan arti dari informasi elektronik yang dimaksudkan kepada si B.
Bagaimana jika si A tidak dapat menunjukkan informasi elektronik yang dimaksud
dan tidak mampu menjelaskan artinya? si B tidak mempercayai informasi
elektronik yang dimaksudkan oleh si A.
INFORMASI DAN/ATAU DOKUMEN
ELEKTRONIK BUKAN BUKTI TERTULIS
Pasal 5
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
- Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Berdasarkan
Pasal 5 UU ITE, bisa ditarik kesimpulan bahwa :
- Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang baru dan sah.
- Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bukan bukti tertulis seperti pasal 1866 KUHPerdata. Hal ini telah ditegaskan pada Pasal 5 ayat 4 bagian a.
- Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai ketentuan UU ITE.
- Hasil cetak informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik juga sah apabila berasal dari sistem elektronik sesuai ketentuan UU ITE.
Dari hal di
atas perdebatan selama ini diantara beberapa pengamat hukum, praktisi hukum,
akademisi bidang hukum tentang ”Apakah informasi elektronik dapat dikategorikan
sebagai akta otentik atau tulisan di bawah tangan?” menjadi tidak tepat untuk
diperdebatkan, karena akta otentik dan tulisan di bawah tangan merupakan bukti
tertulis, sedangkan Informasi dan/atau dokumen elektronik bukan bukti tertulis. Pada
berbagai diskusi lewat internet menunjukkan pendapat yang berbeda. Salah satu
pendapat mengatakan bahwa hasil cetak yang dimaksudkan pasal 5 ayat 1 UU ITE
merupakan bukti tertulis. Hasil cetak merupakan perwujudan/penampakan dari
informasi dan/atau dokumen elektronik yang tersimpan secara elektronik misalnya
tersimpan di harddisk. Informasi yang tersimpan secara elektronik harus dapat
dibuktikan keberadaannya dengan cara menampilkannya ke monitor komputer atau
dicetak lewat printer tampil di kertas. Dengan demikian, informasi elektronik
itu dapat dilihat dengan kasat mata dan diketahui keberadaannya. Jadi, hasil
cetak merupakan bukti elektronik dalam wujud tertulis.
KEADAAN MEMAKSA DALAM PASAL 15 AYAT 3 UU ITE
Pasal 15 ayat 3 terkait dengan Pasal
15 ayat 2. Berikut ini isi ayat2 dan ayat 3 :
Ayat 2 : ”Penyelenggara Sistem
Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya”.
Ayat 3 : ”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian
Pihak pengguna Sistem
Elektronik”.
Dari Pasal 15 ayat 2 dan ayat 3
menunjukkan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya kecuali terjadi keadaan memaksa,
kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.
Keadaan memaksa yang manakah
dimaksud dalam Pasal 15 ayat 3? Keadaan memaksa yang dialami oleh pengguna
Sistem Elektronik. Berikut ini satu cerita singkat untuk memperjelas keadaan
memaksa yang dimaksud.
Si A sebagai pemilik kartu ATM dari
Bank X. Suatu hari, si A ke Bank X untuk mengambil sejumlah uang tunai
menggunakan kartu ATM yang dimilikinya. Saat berada di dalam bilik ATM, si A
berada di bawah ancaman seseorang.
Dalam keadaan memaksa, si A
mentransfer sejumlah uang dari rekening yang dimilikinya ke rekening yang
ditunjuk oleh si pengancam. Dari cerita ini, Bank X sebagai Sistem Elektronik
tidak dapat dipersalahkan dan tidak bertanggungjawab atas transfer uang yang
terjadi.
KEJAHATAN
DENGAN VIRUS KOMPUTER
Virus komputer dibuat oleh manusia dan
disebarkan/diproduksi oleh mesin komputer. Bila aparat penegak hukum mampu
untuk menangkap si pembuat virus dan membuktikan kejahatannya, maka pasal 32
ayat 1, pasal 33 dan pasal 36 (mengakibatkan kerugian) dapat digunakan untuk
menjerat si pembuat virus. Tentunya, Hakim dalam memutuskan perkara perlu
mempertimbangkan tingkat gangguan/akibat yang timbul dari jenis virus yang
disebarkan. Virus dapat diklasifikasikan yaitu :
a. Tidak berbahaya.
Virus ini menyebabkan berkurangnya ruang
disk untuk menyimpan data sebagai
akibat dari perkembangbiakannya.
b. Agak berbahaya.
Virus ini menyebabkan ruang disk penuh dan
mengurangi fungsi lainnya.
c. Berbahaya.
Virus ini dapat mengakibatkan kerusakan atau gangguan
yang parah termasuk kerusakan data dan sistem elektronik yang
diselenggarakan.
Meskipun seseorang bukan sebagai pembuat virus, tetapi
dia dapat memanfaatkan virus komputer untuk merusak informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik milik orang lain. Jika memang ada unsur kesengajaan
untuk melakukan kejahatan seperti pada motif ini, maka terhadap si pelaku dapat
dijerat dengan pasal 32 ayat 1, Pasal 33 dan pasal 36 UU ITE.
Pada kasus lain, seseorang misalnya si A tanpa
sengaja/tidak mengetahui misalnya isi flash disk yang dimilikinya mengandung
virus (sudah dicek dengan program antivirus), lalu memakai flash disk itu di
komputer milik si B dan atas seizin si B lalu terjadi pengrusakan data oleh
virus maka si A tidak dapat dijerat dengan pasal 32 ayat 1, pasal 33 dan pasal
36 UU ITE.
Jadi, meskipun virus diproduksi oleh mesin komputer,
tetapi ada orang di balik penyebaran virus komputer, bisa sebagai pembuat virus
atau penyebar virus dengan sengaja untuk merugikan orang lain. Mesin komputer
yang memproduksi virus komputer hanya sebagai alat bantu untuk melaksanakan
pembuatan dan/atau penyebaran virus, bukan pelaku kejahatan.
Keamanan ITE vs Kejahatan ITE
Keamanan ITE telah disinggung pada beberapa pasal dalam
UU ITE, berikut ini pasal-pasal yang dimaksudkan.
Pasal 12 ayat 1 :
Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan
pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
Pasal 15 ayat 1 :
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik
secara handal dan aman serta bertanggung jawab terhada beroperasinya Sistem
Elektronik sebagaimana mestinya.
Dari kedua pasal itu, jelas UU
ITE mengharuskan atau mewajibkan sistem elektronik yang diselenggarakan
termasuk penggunaan tanda tangan elektronik berlangsung dengan aman.Kenyataan,
masih banyak transaksi elektronik yang berlangsung tidak menggunakan sistem
elektronik yang aman.
Oleh karena itu, ketika dalam
suatu perkara di pengadilan yang terkait pelanggaran berupa pengrusakan
informasi dan/atau dokumen elektronik serta sistem elektronik seperti tertuang
dalam Pasal 30-33 dan Pasal 35, maka Hakim harus mempertimbangkan dua sisi,
yaitu :
1. Perbuatan si pelaku
kejahatan yang mengakibatkan kerugian.
2. Keamanan Sistem
Elektronik yang diselenggarakan.
Hakim dalam membuat Putusan
Pidana dapat mengenakan denda dan/atau hukuman penjara kepada si pelaku
kejahatan dalam kadar yang mungkin lebih ringan ketika perbuatan dari si pelaku
kejahatan berlangsung pada sistem elektronik yang lemah dari segi keamanan.
Oleh karena itu, UU ITE mendorong bagi para pelaku bisnis, atau siapa saja yang
melakukan transaksi elektronik untuk sungguh-sungguh memperhatikan persyaratan
minimun keamanan sistem elektronik yang diselenggarakan seperti termuat dalam
Pasal 16 yakni:
Pasal 16 ayat 1 :
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap PenyelenggaraSistem Elektronik wajib mengoperasikan
Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan peraturan Perundang Undangan,melindungi ketersediaan, keutuhan,
keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut Dapat beroperasi sesuai dengan
prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraa Sistem
Elektroniktersebut,Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi.atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan Memiliki
mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
TIDAK SEMUA
TANDA TANGAN ELEKTRONIK MEMILIKI KEKUATAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM YANG SAH
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
memiliki asas diantaranya netral teknologi atau kebebasan memilih teknologi.
Hal ini termasuk memilih jenis tanda tangan elektronik yang dipergunakan untuk
menandatangani suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Asas
netral teknologi dalam UU ITE perlu dipahami secara berhati-hati, dan para
pihak yang melakukan transaksi elektronik sepatutnya menggunakan tanda tangan
elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah seperti
diatur dalam pasal 11 ayat 1 UU ITE. Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan
hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan Elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan, segala
perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui, segala perubahan terhadap Informasi Elektronik
yang terkait dengan Tanda Tangan elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui,Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi danTerdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda
Tangan telah memberikan persetujuan terhada Informasi Elektronik yang terkait.
Jika tanda tangan asli serta informasi yang ditanda
tangani di atas kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner, maka
cara ini tidak memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah. Berikut
penjelasannya:
Pertama:
Perlu dipahami dengan baik bahwa tanda tangan bertujuan
untuk menyatakan persetujuan atas informasi yang disepakati oleh para pihak
yang bertransaksi, dan mengidentifikasi siapa yang menandatangani.
Kedua:
Ada perbedaan tanda tangan dan informasi yang ditanda
tangani antara di atas kertas dan secara elektronik. Kertas menjadi perekat
antara tanda tangan dan informasi yang ditanda tangani, jika terjadi perubahan
pada tanda tangan atau informasi yang ditanda tangani maka perubahan itu mudah
dikenali misalnya adanya coretan. Secara elektronik, bisa saja seseorang yang
berniat jahat mengganti informasi elektronik yang telah ditanda tangani oleh
para pihak dengan informasi elektronik lain tetapi tanda tangan tidak berubah.
Celakanya, pada data elektronik perubahan ini mudah terjadi dan tidak mudah
dikenali. Oleh karena itu, tanda tangan elektronik harus terasosiasi dengan
informasi elektronik yang ditanda tangani seperti dimaksudkan pada Pasal 1 UU
ITE untuk definisi Tanda Tangan Elektronik.
”Tangan Tangan Elektronik adalah informasi elektronik
yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan suatu informasi elektronik
lain yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Apa yang dimaksud terasosiasi? Menurut penulis, yang
dimaksudkan terasosiasi adalah informasi elektronik yang ingin ditanda tangani
menjadi data pembuatan tanda tangan elektronik. Dengan demikian, antara tanda
tangan elektronik dan informasi elektronik yang ditanda tangani menjadi erat
hubungannya seperti fungsi kertas. Keuntungannya adalah jika terjadi perubahan
informasi elektronik yang sudah ditanda tangani maka tentu tanda tangan
elektronik juga seharusnya berubah. Misalkan seseorang berniat jahat melakukan
perubahan informasi elektronik yang sudah ditanda tangani dengan informasi
elektronik yang lain tetapi tanda tangan elektronik tidak berubah, maka hal ini
mudah diketahui. Caranya? Coba buat tanda tangan elektronik dari informasi
elektronik yang telah berubah dan bandingkan dengan tanda tangan elektronik
yang ada, tentu hasilnya beda, dan ini menunjukkan bahwa informasi elektronik
yang ditanda tangani telah mengalami perubahan.
Ketiga:
Jika kita simak pasal 11 ayat 1 bagian c dan d,
mewajibkan adanya metode untuk mengetahui segala perubahan terhadap Tanda
Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dan mengetahui
segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan. Perubahan itu dapat
diketahui hanya apabila informasi elektronik menjadi data pembuatan tanda
tangan elektronik.
Keempat:
Bagaimana dengan tanda tangan asli serta informasi yang
ditanda tangani di kertas diubah ke data elektronik dengan peralatan scanner,
apakah memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah? Tentu tidak memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, karena tanda tangan itu tidak dibuat
berdasarkan informasi yang disepakati atau dengan kata lain informasi yang
disepakati tidak menjadi data pembuatan tangan tangan, sehingga perubahan tanda
tangan elektronik dan/atau informasi elektronik setelah waktu penandatanganan
tidak dapat diketahui.
Jadi, tidak semua tanda tangan elektronik memiliki
kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah.
KASUS
MENGENAI PERBUATAN YANG DILARANG DALAM UU ITE
Selain memuat ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem
elektronik untuk mendukung informasi dan transaksi elektronik, UU ITE juga
memuat pasal-pasal mengenai Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana.
Perbuatan yang Dilarang termuat pada pasal 27 – 37, sedangkan Ketentuan Pidana
pada pasal 45 – 52. Pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda.
Pada bagian ini, penulis menampilkan satu contoh kasus
yang terkait dengan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. Dengan contoh ini
diharapkan para pembaca dapat mengambil pelajaran penting dari pasal-pasal
terkait Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana.
Contoh kasus:
”Si A adalah pemilik rental VCD berbagai macam film.
Suatu hari, dia mendapatkan kiriman satu VCD dari seseorang yang tidak dikenal.
Isi VCD berupa video singkat yang memuat permainan sex sepasang suami-isteri.
Dalam cerita ini, si suami isteri itu sengaja membuat video tersebut untuk
kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan, tapi entah bagaimana video itu
jatuh ke tangan orang lain (si A). Kemudian, si A meng-copy video itu ke dalam
beberapa VCD, lalu menyebarkan atau menjualnya. Pekerjaan Si A tidak hanya
menjual VCD, si A juga memiliki kegemaran untuk merekayasa foto-foto artis
menjadi tampak dalam pose bugil, malahan si A memiliki website yang
dirancangnya sendiri untuk menfasilitasi pemuatan video dan gambar-gambar
pornografi baik gambar asli atau gambar rekayasa”.
Dari kasus di atas, perbuatan si A dapat dijerat dengan
pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:
Pertama:
Perbuatan si A dengan sengaja dan tanpa hak telah
mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik berupa video
singkat yang melanggar kesusilaan. Untuk itu Pasal 27 ayat 1 akan menjerat si
A.
Pasal 27 ayat 1 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan”.
Kedua:
Perbuatan si A melakukan manipulasi terhadap informasi
elektronik berupa foto artis untuk diubah menjadi foto dalam pose bugil. Tujuan
dari manipulasi ini adalah mencemarkan nama baik artis dan membuat foto hasil
rekayasa seolah-olah otentik/asli. Untuk itu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 35 akan
menjerat pula si A.
Pasal 27 ayat 3 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.
Pasal 35 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan,
pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah
data yang otentik”.
Ketiga:
Perbuatan si A mengakibatkan kerugian bagi suami isteri
dan artis. Si suami isteri membuat video itu untuk kepentingan pribadi bukan
untuk dipublikasikan. Si artis memiliki foto asli tidak dalam pose bugil, tapi
karena ulah si A, foto asli diubah menjadi foto rekayasa dalam pose bugil.Untuk
itu Pasal 36 akan menjerat pula si A.
Pasal 36 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
Keempat
Perbuatan si A mengadakan perangkat lunak berupa website
yang bertujuan untuk menfasilitasi pendistribusian foto/gambar bersifat
pornografi. Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan menjerat pula si A.
Pasal 34 ayat 1 bagian a :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat
lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33”. Dari
pasal-pasal yang dapat menjerat si A maka ketentuan pidana yang terkait termuat
pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 45 ayat 1 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pasal 50 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).”
Pasal 51 ayat 1 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”
Pasal 51 ayat 2 :
”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”
PERBUATAN
YANG DILARANG PADA PENGGUNAAN HANDPHONE
Pasal 1 UU ITE menyebutkan diantaranya ”Transaksi
Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya”. Ini berarti, Handphone
sebagai media elektronik lainnya juga termasuk dalam UU ITE. Handphone
digunakan untuk komunikasi dan penggunanya dari berbagai kalangan, dari
anak-anak sampai orang tua. Beberapa layanan yang tersedia diantaranya SMS
(Short Message Services) digunakan untuk menyampaikan pesan singkat kepada
seseorang untuk berbagai kepentingan.Kita masih ingat begitu banyak kasus
seputar penggunaan Handphone. Berikut ini beberapa kasus yang berkaitan dengan
layanan SMS dan MMS (Multi Media Services) :
1. Penyebaran gambar
atau video (informasi elektronik) yang memuat pelanggaran kesusilaan seperti
penyebaran video porno dengan sengaja ke kalangan pelajar yang berakibat
merusak moral generasi bangsa.
2. Pengiriman pesan
yang memuat perjudian.
3. Pengiriman pesan
yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik seseorang seperti tuduhan
perbuatan asusila tanpa bukti dengan maksud untuk membunuh karakter kepribadian
seseorang dan mencemarkan nama baiknya yang dapat mengakibatkan gangguan
terhadap kehidupan keluarga dan pekerjaannya.
4. Pengiriman pesan
yang memuat ancaman seperti ancaman untuk meledakkan bom di suatu tempat.
5. Pengiriman pesan
yang memuat berita bohong dan menyesatkan seperti pesan yang bersifat menipu
dengan memberitahukan kepada seseorang bahwa dia telah memenangkan undian dari
salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta dan meminta untuk mentransfer
sejumlah uang ke nomor rekening tertentu sebagai biaya pengiriman hadiah.
6. Pengiriman pesan
yang sifatnya menghasut suku atau penganut agama tertentu dengan maksud
menyebarkan kebencian atau permusuhan di masyarakat.
7. Pengiriman pesan
yang memuat ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi seperti mengancam
untuk membunuh si penerima pesan.
Terhadap setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mengirim pesan atau informasi elektronik seperti diuraikan di atas, maka orang
itu akan dijerat dengan pasal-pasal Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE, yaitu
pasal 27 sampai pasal 29.
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan. (terkait dgn kasus 1)
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian. (terkait dgn kasus 2)
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (terkait dgn kasus 3)
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.(terkait dgn kasus 4)
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik. (terkait dgn kasus 5)
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (terkait dgn kasus 6)
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. (terkait dgn kasus 7)
UU ITE juga memuat ketentuan pidana, untuk pasal 27
sampai pasal 29 terkait dengan ketentuan pidana pada pasal 45.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan
Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Pasal 36 terkait dengan
ketentuan pidana pasal 51 ayat 2
Pasal 51 ayat 2.
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
PERANAN
PENYELENGGARA SERTIFIKASI ELEKTRONIK
Peranan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dalam UU ITE
hanya sebatas untuk memberikan dukungan teknis yang terkait dengan pembuatan
tanda tangan elektronik. Peranan yang dimaksud diantaranya:
a. Menerbitkan
Sertifikat Elektronik, tercantum pada Pasal 1
Pasal 1, diantaranya memuat: Sertifikat Elektronik adalah
sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan
identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi
Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
b. Memastikan
keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan pemiliknya sebagai subjek
hukum yang bertanda tangan, hal ini terkait dengan pasal 1 di atas, dan pasal
ayat 2
Pasal 13 ayat 2 : Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
harus memastikan keterkaitan suatu Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.
Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit dalam UU ITE, Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik memiliki kemampuan untuk dapat memastikan keterkaitan
antara tanda tangan elektronik dengan informasi dan/atau dokumen elektronik
yang ditanda tangani, karena tanda tangan elektronik terasosiasi dengan
informasi elektronik yang ditanda tangani.
Pasal 1 diantaranya memuat : Tanda Tangan Elektronik
adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Ada dua hal yang perlu dipahami dengan
hati-hati sehubungan dengan peranan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, yaitu:
Pertama:
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik tidak memiliki tugas
dan kewenangan untuk memeriksa substansi informasi dan/atau dokumen elektronik
yang ditanda tangani oleh para pihak yang bertransaksi, apakah bertentangan
dengan peraturan yang ada. Tugas dari Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
hanya sebatas dukungan teknis terkait dengan pembuatan tanda tangan elektronik.
Kedua:
Terkait dengan pasal 1, tanda tangan elektronik digunakan
sebagai alat verifikasi dan autentikasi. Verifikasi yang dimaksud tidak terkait
dengan substansi informasi elektronik yang ditandatangani. Tanda tangan
elektronik digunakan untuk menguji apakah informasi elektronik yang ditanda
tangani mengalami perubahan selama ditransmisikan. Jika mengalami perubahan
maka informasi elektronik itu dianggap tidak sah karena tidak dijamin
keutuhannya. Ketentuan ini terkait dengan pasal 6 UU ITE.
Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur
dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk
tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap
sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
HUBUNGAN UU
ITE NO.11 DENGAN HAM DAN TUJUAN NEGARA RI
Berbagai diskusi dan pernyataan di Internet mempersoalkan
tentang UU ITE No. 11 Tahun 2008. Pendapat yang berbeda muncul, termasuk
keinginan beberapa kalangan agar UU No. 11 Tahun 2008 direvisi dengan berbagai
alasan dan pertimbangan.Pada bagian ini, penulis mengungkapkan beberapa
pemikiran yang dapat memberikan pencerahan bagi kita semua untuk memandang UU
ITE No. 11 Tahun 2008 secara komprehensif dari berbagai sudut pandang dan
memposisikan diri kita sebagai anak bangsa yang peduli terhadap kemajuan bangsa
Indonesia.
Pertama:
Pertanyaan: Apa tujuan dari Pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008? Bagaimana
kaitannya dengan tujuan Negara Republik Indonesia? Tujuan dari Pemanfaatan
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU ITE No. 11 Tahun 2008
tercantum pada Pasal 4, yaitu:
1. Mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
2. Mengembangkan
perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat;
3. Meningkatkan
efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
4. Membuka kesempatan
seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di
bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab; dan
5. Memberikan rasa
aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi
Informasi.
Tujuan di atas sejalan dengan tujuan Negara Republik
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 diantaranya
“mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini
menunjukkan bahwa dasar pembentukan UU ITE No. 11 tahun 2008 konsisten dengan
tujuan Negara Republik Indonesia.
Kedua:
Pertanyaan: Apakah semua informasi elektronik dapat
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum?
Jawab : Tidak semua informasi elektronik dapat
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.
Informasi elektronik terbagi dalam dua kategori yaitu informasi elektronik yang
berkualitas dan informasi elektronik yang tidak berkualitas. Yang dapat
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum hanya
informasi elektronik yang berkualitas, yaitu informasi yang mendorong
pengembangan potensi bangsa di berbagai bidang kehidupan menuju bangsa yang
sejahtera dan cerdas, serta mampu bersaing dengan bangsa lain.
Ketiga:
Bagaimana dengan jenis Informasi Elektronik yang tidak
berkualitas? Apa contohnya? Jenis informasi elektronik yang tidak berkualitas
dapat merusak pencapaian tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memajukan kesejahteraan umum. Informasi elektronik yang tidak berkualitas
bermuatan negatif seperti pelanggaran kesusilaan, perjudian, menghina dan
mencemarkan nama baik seseorang, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong
dan menyesatkan, menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.
Keempat:
Bagaimana menggambarkan kebebasan mengakses informasi
elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pencapaian tujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Gambarannya sederhana saja. Indonesia adalah negara yang gencar melakukan pembangunan.
Salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan adalah memperluas
akses internet sampai ke pedesaan. Tujuannya adalah bagaimana mendorong
percepatan pembangunan di pedesaan. Para petani dapat mempromosikan hasil
pertanian lewat internet. Murid sekolah dapat memperoleh banyak ilmu
pengetahuan lewat internet.Para pejabat pemerintah dapat mengawasi bawahannya
dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lewat pemanfaatan internet, dan
masih banyak manfaat lainnya.
Jadi, tujuan Pemerintah untuk memperluas akses informasi
lewat internet sampai ke pedesaan untuk meningkatkan kecerdasan dan
kesejahteraan rakyat di pedesaan.
Meskipun demikian, tujuan itu dapat tidak tercapai
apabila masyarakat pedesaan dominan mengakses informasi elektronik yang tidak
berkualitas.
Coba kita bayangkan, bagaimana jika sekelompok murid
sekolah mengakses situs porno atau bermain judi lewat internet, Apakah hal ini
membuat masyarakat pedesaan menjadi cerdas dan sejahtera? Apakah perbuatan
menyebarkan informasi elektronik yang bermuatan berita bohong, pemerasan,
pengancaman, penghinaan, pencemaran nama baik termasuk perbuatan mengarah pada
peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat? Dengan akal sehat, kita dapat
menjawab bahwa perbuatan itu tidak mengarah pada peningkatan kecerdasan dan
kesejahteraan rakyat.
Kelima:
Bagaimana pembatasan akses informasi elektronik yang
tidak berkualitas dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008? Dalam UU ITE No. 11 thn
2008 pada Pasal 27 dan 28 telah melarang setiap orang untuk menyebarkan informasi
elektronik yang tidak berkualitas, dan memberikan sanksi pidana penjara
dan/atau denda kepada setiap orang yang melanggar.
Pasal 27
1. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
2. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan perjudian.
3. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
4. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28
1. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
2. Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 45
1. Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Keenam:
Pertanyaan: Apakah pasal 27 dan pasal 28 dalam UU ITE No.
11 Tahun 2008 bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945?Justru Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE No. 11 thn 2008
mendorong penegakan HAM. Mari kita simak pasal 28F dalam UUD 1945 yang berbunyi
:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Penulis ingin
mengajukan pertanyaan kepada pembaca untuk direnungkan.
Apakah informasi elektronik yang tidak berkualitas
seperti bermuatan pencemaran nama baik, penghinaan, pelanggaraan kesusilaan,
pengancaman merupakan informasi elektronik yang dapat mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosial. Sementara kebebasan untuk mengakses informasi elektronik
yang berkualitas mendorong pengembangan pribadi dan lingkungan sosial. Jadi
Pasal 27 dan Pasal 28 sudah tepat dalam UU ITE No. 11 Tahun 2008 untuk
memberantas informasi elektronik yang tidak berkualitas agar masyarakat dapat
lebih mengakses informasi elektronik yang berkualitas untuk menunjang
pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Ketujuh:
Pertanyaan: Apa argumentasi yang tepat bahwa informasi
elektronik yang tidak berkualitas dapat merusak pengembangan pribadi dan
lingkungan sosial? Argumentasinya cukup sederhana. Indonesia memiliki
lingkungan sosial yang kental dengan kultur ketimuran yaitu masyarakat agamis.
Tidak ada satu pun agama yang membolehkan seseorang untuk melakukan perbuatan
menyebarkan informasi yang bermuatan penghinaan, pencemaran nama baik
seseorang, pengancaman, pemerasan, fitnah, perjudian, pornografi. Informasi
elektronik yang tidak berkualitas merusak moral generasi.
Kedelapan:
Pertanyaan: Bagaimana mengaitkan UU ITE, HAM, Jenis
Informasi Elektronik dan Tujuan Negara Republik Indonesia? Keterkaitannya
berangkat dari tujuan Negara R.I untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa
dan memajukan kesejahteraan umum.
1. UUD 1945 telah
mengatur Hak Asasi Manusia (HAM) untuk memperoleh dan menyebarkan informasi
yang dapat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial. Akses informasi
elektronik yang berkualitas mengarah pada pengembangan pribadi, lingkungan
sosial dan pencapaian tujuan Negara R.I. Akses informasi elektronik yang tidak
berkualitas tidak mengarah pada pengembangan pribadi, lingkungan sosial dan
pencapaian tujuan Negara R.I.
2. UU ITE No. 11 tahun
2008 memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kemerdekaan berpendapat dan
kebebasan untuk mengakses informasi elektronik yang berkualitas dan melarang
untuk mengakses informasi elektronik yang tidak berkualitas.
Kesembilan:
Pertanyaan: Sudah banyak diskusi dan pernyataan yang
menginginkan untuk revisi UU ITE No. 11 Tahun 2008 terutama terkait dengan soal
HAM tentang kebebasan mengakses informasi, bagaimana dgn masalah ini? Pada
dasarnya keinginan untuk merevisi UU ITE No. 11 tahun 2008 merupakan hak setiap
orang. Tapi sayangnya, beberapa orang yang menginginkan revisi terhadap UU ITE
No. 11 tahun 2008 bersandar pada pemahaman yang kurang baik tentang pencapaian
tujuan Negara Republik Indonesia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa kebebasan
untuk mengakses informasi sudah dikebiri oleh UU ITE No. 11 tahun 2008 dan
melanggar HAM.
UU ITE No. 11 Tahun 2008 justru memberikan kebebasan bagi
siapa saja untuk mengakses informasi elektronik tetapi untuk kategori informasi
elektronik yang berkualitas dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik
Indonesia. Penulis tidak sependapat dengan kebebasan tanpa kontrol karena kita
hidup dalam suatu negara yang memiliki tujuan. Kebebasan tanpa kontrol
menunjukkan suatu pemikiran yang tidak mengarah pada pencapaian tujuan.
Seseorang yang hidup dengan tujuan, dicirikan oleh kemampuan untuk memilah dan
memilih informasi yang sepatutnya diakses dalam rangka pencapaian tujuan itu.
UU ITE No. 11 Tahun 2008 sudah menampakkan perilaku itu, melindungi informasi
elektronik yang berkualitas dan melarang informasi elektronik yang tidak berkualitas.
Demikian pula, HAM dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan kebebasan penyebaran
dan pengaksesan informasi memiliki kontrol berupa tujuan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosial.
UU ITE DAN
KEBEBASAN PERS
Banyak protes dari kalangan Pers tentang keberadaan UU
ITE Nomor 11 tahun 2008 terutama menyangkut pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 ayat
2. Pasal tersebut dipandang berpotensi mengancam kemerdekaan Pers, berita pers
dapat disalurkan melalui informasi elektronik (di dunia maya), terkait dengan kasus
korupsi, sengketa, politik yang dapat dinilai sebagai penyebaran pencemaran
nama baik, penghinaan, menimbulkan permusuhan atau kebencian dalam masyarakat.
Pasal 27 ayat 3
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat 2
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA). Pada bagian ini UU ITE No. 11 Tahun 2008
terutama Pasal 27 dan Pasal 28. Kiranya melalui tulisan ini akan lebih
memperjelas apa yang dikuatirkan oleh kalangan Pers dalam penyampaian berita
dalam bentuk informasi elektronik.
Dunia maya merupakan wadah komunikasi bagi siapa saja,
termasuk bagi Pers untuk menyebarkan informasi. Pers merupakan kalangan yang
berkepentingan untuk menyebarkan berita lewat internet karena sarana ini
merupakan cara yang cepat untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat dalam
jangkauan yang lebih luas dan lebih murah.Persoalannya: Apakah UU ITE No. 11
tahun 2008 pada Pasal 27 dan Pasal 28 berpotensi membatasi kebebasan Pers dalam
memberitakan suatu peristiwa dalam bentuk informasi elektronik? Dalam Pasal 27
dan Pasal 28 UU ITE No. 11 Tahun 2008 terdapat pernyataan ‘tanpa hak’.Pers
memiliki hak untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik berupa Berita. Hak dari Pers sudah jelas
dinyatakan dan dilindungi dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999. Pers berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers berkewajiban pula
untuk melayani hak jawab sebagai bentuk koreksi dan kontrol dari masyarakat.
Wartawan harus menaati kode etik Jurnalistik. Beberapa Pasal dalam Kode Etik
Jurnalistik diantaranya :
1. Wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan
fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
2. Wartawan Indonesia
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
3. Wartawan Indonesia
tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi
terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin,
sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
4. Wartawan Indonesia
segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat
disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
5. Wartawan Indonesia
melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Terkait dengan pendistribusian atau penyebaran informasi
elektronik. Sesuai amanat UU Pers No. 40 tahun 1999, maka Pers memiliki ‘hak’
untuk mendistribusikan informasi, penulis berpendapat, termasuk informasi elektronik.
Jika timbul tuduhan bahwa berita dalam bentuk informasi elektronik yang
disampaikan oleh Pers mengandung unsur pencemaran nama baik, penghinaan,
menimbulkan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat, maka UU ITE No. 11 Tahun
2008 tidak dapat digunakan untuk menjerat Pers, karena Pers memiliki hak untuk
mendistribusikan informasi elektronik, sementara Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE
no. 11 Tahun 2008 mengacu pada 'tanpa hak'. Pers memiliki mekanisme sendiri
untuk menyelesaikan masalahnya. Dalam UU Pers No. 40 tahun 1999 secara jelas
diterangkan bahwa Pers memiliki kewajiban seperti menerima Hak Jawab dan Hak
Koreksi dari masyarakat. Pers juga memiliki kode etik jurnalistik, wartawan
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul dan berkewajiban untuk
melakukan koreksi terhadap pemberitaan jika memang dipandang tidak
akurat/keliru. Jadi, UU ITE No. 11 tahun 2008 khususnya Pasal 27, 28 tidak
untuk kalangan Pers
SEMBILAN
PERATURAN PEMERINTAH DAN DUA LEMBAGA YANG BARU UNTUK UU ITE
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) yang telah disahkan pada bulan April 2008, pelaksanaannya
masih menunggu penerbitan 9 Peraturan Pemerintah dan pembentukan 2 (dua)
lembaga yang baru yakni Lembaga Sertifikasi Keandalan dan Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik.
Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari :
1. Lembaga sertifikasi
keandalan
2. Tanda tangan
elektronik
3. Penyelenggaraan
sertifikasi elektronik
4. Penyelenggaraan
sistem elektronik
5. Penyelenggaraan
transaksi elektronik
6. Penyelenggara agen
elektronik
7. Pengelolaan nama
domain
8. Tatacara intersepsi
9. Peran pemerintah
Selama proses pembentukan Peraturan Pemerintah untuk UU
ITE, Pemerintah perlu secara intensif mendengarkan berbagai masukan dari
masyarakat agar Peraturan Pemerintah tersebut dapat diterapkan dengan efektif
dan mendapatkan respon positif dari masyarakat. Demikian pula, pelaksanaan UU
ITE turut memperhatikan kesiapan masyarakat, karena UU ITE merupakan payung
hukum di Indonesia untuk pertama kali dalam bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik. Oleh karena itu, Departemen Komunikasi dan Informatika
(Depkominfo) dan Instansi yang terkait perlu intensif melakukan berbagai upaya,
diantaranya Sosialisasi UU ITE pada masyarakat termasuk kalangan kampus,
peningkatan pengetahuan aparat penegak hukum ttg UU ITE dan berbagai aspek
dalam Hukum Telematika. Dua lembaga yaitu Lembaga Sertifikasi Keandalan dan
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik masing-masing diharapkan dapat berfungsi
sebagai berikut:
1. Lembaga Sertifikasi
Keandalan melakukan fungsi administratif yang mencakup registrasi, otentikasi
fisik terhadap pelaku usaha, pembuatan dan pengelolaan sertifikat keandalan,
dan membuat daftar sertifikat yang dibekukan. Setiap pelaku usaha yang akan
melakukan transaksi elektronik dapat memiliki Sertifikat Keandalan yang
diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan dengan cara mendaftarkan diri.
Lembaga Sertifikasi Keandalan akan melakukan pendataan dan penilaian menyangkut
identitas pelaku usaha, syarat-syarat kontrak dari produk yang ditawarkan, dan
karakteristik produk. Jika pelaku usaha lulus dalam uji sertifikasi oleh
Lembaga Sertifikasi Keandalan maka akan memperoleh pengesahan berupa logo
trustmark pada homepage pelaku usaha yang menunjukkan bahwa pelaku usaha
tersebut layak untuk melakukan usahanya setelah diaudit oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan.
2. Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik melaksanakan fungsi administratif mancakup registrasi,
otentikasi fisik terhadap pemohon, pembuatan dan pengelolaan kunci publik
maupun kunci privat, pengelolaan sertifikat elektronik dan daftar sertifikat
yang dibekukan. Setiap pihak yang akan melakukan transaksi elektronik perlu
memenuhi persyaratan minimum dalam UU ITE, singkat kata, memerlukan tanda
tangan elektronik dalam melakukan transaksi elektronik. Tanda tangan elektronik
ini akan lebih aman jika terdapat pihak ketiga selain para pihak yang
bertransaksi. Pihak ketiga tersebut adalah Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
dengan fungsi utama adalah menerbitkan Sertifikat Elektronik yang memuat data
pembuatan tanda tangan elektronik yang dikenal dengan ‘kunci publik’ dan ‘kunci
privat’. Pelaku usaha yang ingin mendapatkan Sertifikat Elektronik untuk
mendukung penggunaan tanda tangan elektronik dalam melakukan transaksi
elektronik dapat mengajukan permohonan kepada Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik. Lalu, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik akan melakukan pendataan
dan penilaian meliputi identitas pemohon, otentikasi fisik dari pemohon, dan
syarat lainnya. Setelah dinilai dan tidak ada masalah, dilanjutkan dengan
penerbitan Kunci Publik, Kunci Privat, dan Sertifikat Elektronik. Dengan
Sertifikat Elektronik yang dimiliki oleh para pihak yang bertransaksi secara
elektronik akan memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan para pihak
yang bertransaksi.
BEBERAPA HAL
YANG TERLEWAT DAN PERLU PERSIAPAN DARI UU ITE
Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu
didetailkan dengan peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE
(Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:
• Spamming, baik untuk
email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi,
dsb
• Virus dan worm
komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan
penyebarannya
• Kemudian juga tentang
kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore
melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di
Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan
pengembang situs porno anak-anak
• Terakhir ada yang
cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE kok persis plek alias
copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli, SH, MH berjudul
Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut
menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut, seharusnya janganlah terus langsung
copy paste buku bab 1 untuk bagian Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda
tangan adalah Presiden Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar